Selasa, 01 Desember 2009

The 7 Habit

The 8 Habit dan 8 Etos Manusia Unggul


Pada dasarnya ada kesamaan The 8 Habit oleh Stephen Covey dengan 8 Etos Manusia Unggul oleh Jansen Sinamo (Guru Etos Indonesia, red). Covey dan Jansen memang seorang humanis spiritual yang serba optimistis, dalam arti pemercaya penuh pada potensi nilai dan kebaikan manusia, peyakin teguh akan kebutuhan manusia yang universal, dan pejuang gagah bagi cara-cara rasional memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Covey dan Jansen melihat kondisi pengap iklim organisasi adalah sumber dari begitu negatifnya sikap, rapuhnya emosi, buruknya keterampilan, atau rendahnya motivasi manusia di ruang kerjanya yang berakibat pada buruknya kinerja dan produktivitas mereka. Itulah yang harus diperbaiki. Mulai dari para pemimpin; menata paradigma dan tujuan, merumuskan peran, relasi, dan prioritas kerja, serta mengeksekusinya tuntas dengan mengerahkan segenap bakat, talenta, dan kecerdasan. Covey dan Jansen mempercayai, jika hal-hal ini dilakukan, benih-benih keagungan manusia akan tumbuh mekar berbuah lebat di lahan subur organisasi. Sambil mengisahkan tapak-tapak panjang sejarah korporasi, Covey dan Jansen menawarkan berbagai resep memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, seraya merambah jalan baru menuju manusia unggul.


Menurut Max Weber (1905), inilah elemen etos ekonomi yang terlibat dalam proses keberjayaan dunia Barat. Menurut kamus Oxford, suara yang memanggil, vocare (latin), menjadi vocation (Inggris), berarti pekerjaan. Tak bisa lain, vocation harus dimaknai secara lengkap, bekerja adalah sabda Ilahi. Jadi, keterangan sosiologi ekonomi cocok dengan kamus. Singkatnya, jika panggilan (suara, titah, sabda) Ilahi itu ditanggapi penuh gairah melalui akal budi, khususnya nurani, dalam konteks kerja, ia akan terpantul menjadi suara jiwa kita yang unik dan mendesak diekspresikan. Buahnya ialah keunggulan dan kejayaan. Dalam istilah bahasa Covey, temukanlah suaramu, lalu ilhamilah orang lain menemukan suaranya! Itulah habit ke-8. Itulah suara jiwa, melodi spiritual talenta, kegairahan, nurani, dan kebutuhan kita. Jika orang menemukan lalu mengekspresikan suara jiwanya, ia akan bergemilang. Dan, jika pemimpin menolong setiap warganya menemukan suaranya, keseluruhannya akan menjadi organisasi yang gemilang. Dimampatkan, begitulah argumentasi Covey. Secara fenomenologis teramati bahwa semua orang ingin menjadi orang besar, paling tidak, bagian dari yang serba besar. Buat saya, itulah penjelasan mengapa manusia selalu bernafsu tinggi pada apa saja yang besar-besar; rumah besar, mobil besar, dan gaji besar, dan pada kategori lain, perusahaan unggul, partai unggul, dan tentu saja negara unggul! Pokoknya, manusia tidak puas dengan yang kecil-kecil, biasa-biasa, atau sedang-sedang.

Sebagai nilai, greatness (kejayaan, kemegahan, keagungan) telah menjadi poros budaya semesta yang menggerakkan manusia untuk meraih atau menciptakannya. Evolusi budaya telah berhasil menanamkan greatness menjadi semangat utama di hati manusia, bahkan menjadi pilar spiritualitasnya. Secara religius, ini setara dengan pengabdian manusia tiada henti pada atribut ke-Ilahi-an, seperti kesucian, keakbaran, dan kebenaran. Manusia selalu terpesona pada obyek-obyek besar, seperti gunung, samudra, atau langit. Bukan kebetulan, ketiganya juga merupakan metafora kebesaran Ilahi. Jadi, di tingkat rohani, jiwa manusia selalu merindu pada keagungan. Jelasnya, hati manusia belum merasa puas tuntas hingga akhirnya ia menemukan, mengalami, atau berjumpa dengan keagungan itu. Tatkala warga negeri ini masih banyak yang terjebak dalam dilema klasik kemanusiaan universal; mau bahagia tetapi gemar mengeluh, mau dipercaya tetapi tak sanggup menjaga amanah, mau berkilau tetapi tak tahan dikritik, mau terpilih tetapi emoh melayani, mau menabung tetapi gemar bergaya hidup boros, mau pintar tetapi malas belajar.
Memang demikian dengan kenyataan begitu banyak manusia berjiwa kerdil, berintelek kurus, bermental keropos, dan berkesadaran rendah. Kehadiran konsep-konsep manusia unggul Covey dan Jansen perlu disimak secara serius. Yang jelas, kita semua harus menjawab panggilan suara agung tersebut, itulah panggilan suara Tuhan, suara rakyat, dan suara Ibu Pertiwi yang terus merintih demi kemaslahatan seluruh anak negeri. Apabila memekakkan telinga terus, kita masih akan terus terpuruk untuk jangka waktu yang masih panjang.

Intinya, untuk membangun greatness, harus dimulai dari ranah pribadi (personal greatness) dengan menerapkan the seven habits dalam bentuk visi, disiplin, antusiasme, dan nurani. Selanjutnya, ranah kepemimpinan (leadership greatness) dengan menerapkan empat peranan kepemimpinan ala Covey; panutan dalam the seven habits, perintis jalan ke kegemilangan, penyelaras semua elemen organisasi, dan pemberdaya bagi segenap potensi warga organisasi. Terakhir, ranah organisasi (organizational greatness) dengan perumusan visi, misi, dan nilai-nilai pokok organisasi yang membuahkan kejelasan, komitmen, sinergi, pemampuan, dan akuntabilitas. Jika semua ini dijalankan simultan, janji Covey dan Jansen, terciptalah kinerja unggul secara berkelanjutan, dan di ujung sana, kejayaan dan kegemilangan.

Buku ini berisi 7 prinsip,
1 .
Be Proactive (Bersikap Proaktif).
Dalam menghadapi suatu masalah, kita bisa memilih untuk bersikap a) reaktif atau b) proaktif. Bila kita cenderung menyalahkan orang lain atau keadaan yang sulit, maka kita bersikap reaktif. Sementara proaktif adalah sikap bertanggung jawab atas setiap aspek dalam kehidupan kita, yang selanjutnya membuat kita mengambil inisiatif dan tindakan. Intinya, dengan bersikap proaktif, kita tidak membiarkan diri kita terhanyut oleh keadaan, tetapi justru kita yang berusaha mengendalikan keadaan. Dalam konsep "stimulus dan respons", keadaan adalah stimulus yang tidak dapat dikendalikan, tetapi manusia mempunyai daya untuk memilih respons apa yang akan dia ambil.
2. Begin with the End In Mind (Memulai dengan Tujuan di Pikiran).
Banyak orang memiliki cita-cita, tetapi sedikit yang mampu membayangkan (memvisualisasikan) dan menuangkan visi hidupnya itu dalam suatu pernyataan. Dengan membuat "Pernyataan Misi Pribadi", kita dibantu untuk berkonsentrasi dan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi apa yang akan dihadapi sebelum kita bertindak.
3. Put First Things First (Dahulukan Yang Utama).
Kita harus mempunyai skala prioritas untuk tujuan-tujuan jangka pendek, dengan tidak melupakan tugas-tugas yang walaupun terlihat tidak mendesak tetapi ternyata penting. Dengan sempitnya waktu, seorang pemimpin harus mampu mendelegasikan sebagian tugasnya. Pendelegasian tersebut akan efektif bila sejak awal ada kesepakatan hasil yang ingin dituju, jadi bukan semata rincian rencana kerja dari atas.
Kebiasaan 1- 3 merupakan kebiasaan yang berhubungan dengan diri sendiri untuk membangun karakter pribadi.
4. Think Win/Win (Berpikir Menang-Menang)
Bila kita terbiasa memikirkan solusi yang saling menguntungkan (win-win solution) bagi kedua belah pihak, maka kita dapat meningkatkan hubungan kerjasama yang lebih efektif dalam mencapai tujuan.
5. Seek First to Understand, Then to be Understood (Mengerti Dulu, Baru Dimengerti).
Bila kita memberi suatu nasehat tanpa berempati atau tanpa memahami situasi orang tersebut, maka kemungkinan besar nasehat tersebut akan ditolak atau tidak berguna. Maka biasakan untuk "paham dulu baru bicara" agar komunikasi berjalan dengan efektif.
6. Synergize ( Sinergi)
Berusahalah untuk mencapai sinergi positif bila bekerja dalam team. Intisarinya adalah perbedaan nilai-nilai yang ada harus a) dihormati, b) dibangun kekuatannya, dan c) dikompensasi kelemahannya. Galilah potensi dan kontribusi setiap anggota team. Jika sinergi dapat dicapai, maka hasil satu team lebih besar daripada hasil anggota bila bekerja sendiri-sendiri.
Kebiasaan 4,5,6 berhubungan dengan publik, yang diwujudkan dengan menguasai komunikasi dan kerjasama yang efektif dengan orang lain.

7. Sharpen the saw (Pertajam Gergaji)

Kebiasaan ini berfokus pada pembaharuan diri secara mental, fisik, emosional/sosial dan spiritual yang seimbang. Untuk dapat terus produktif, seseorang juga harus menyegarkan dirinya dengan memiliki aktivitas-aktivitas rekreasi.

Blokade Mental

Menjadi manusia efektif ternyata tidak saja menuntut optimalisasi keunggulan semata melainkan ada kebutuhan lain yang sebesar optimalisasi, yaitu menyingkirkan blokade. Blokade adalah barrier (halangan) yang menghambat potensi kita untuk dapat berfungsi seperti yang kita maksudkan sehingga akhirnya menjadi tidak efektif atau banyak menelan pemborosan energi, waktu dan konsentrasi. Ibarat sebuah talang, jika air tidak mengalir selancar yang seharusnya terjadi berarti terdapat kemungkinan tanda tanya, “there is something technically/strategically wrong”. Bisa jadi talang itu bocor dan membuat kucuran air membanjiri tempat lain yang tidak diinginkan atau aliran air terhalang oleh tumpukan benda-benda kecil.

Peristiwa di mana orang menjalani hidup tidak efektif – sebagaimana talang – tidak selamanya disebabkan oleh faktor ketidamampuan (over-burden) tetapi oleh adanya kebocoran atau kemampetan. Kalau mengutip rumusan Paretto (20:80), blokade itulah yang membuat kita menjalani hidup sebaliknya (80:20). Kita mengeluarkan energi 80 % dan hanya menghasilkan 20 % dari sasaran. Padahal mestinya 20 % kita keluarkan dan mendapatkan 80 % sasaran atau setidaknya 30:70, 40:60 atau 50:50. Pertanyaannya, bentuk blokade apakah yang menghambat tersebut?

Kemampuan dan Kebiasaan

Setelah mengeluarkan pendapat tentang “The Seven Habit – The Most Effective People” , Covey menemukan hubungan korelatif antara kebiasaan efektif dan tingkat aktualisasi kemampuan dasar manusia (dalam: Seven Habit Revisited: seven unique human endowment, Stephen Covey: 1996-1998). Di dalam diri manusia terdapat tujuh kemampuan dasar yang berasosiasi dengan model kebiasaan menurut kontinum tertentu. Tujuh kemampuan dasar (endowment) itu antara lain: 1) Kesadaran-diri (self awareness), 2) imajinasi (imagination and conscience), 3) Kemauan (will power), 4) mentalitas berlimpah (abundance mentality), 5) Keberanian (courage with consideration), 6 ) Kreativitas (creativity), 7) Pembaruan (self renewal). Ketujuh kemampuan dasar itu digolongkan menjadi dua, yaitu primer (1,2, 3) dan sekunder (4, 5, 6, 7).

Adapun tujuh kebiasaan manusia efektif (seperti yang sudah dijelaskan dalam buku Covey yang telah beredar di sini) adalah: 1) Proaktif (Proactive), 2) Berawal dari tujuan akhir (Begin with the end), 3) Mengutamakan yang utama (First thing first), 4) Berpikir menang-menang (Think win-win), 5) Memahami lebih dulu (seek first to understand), 6) sinergisitas (synergize), 7) Mengasah gergaji (sharpen the saw).

Mari kita mulai membahas bagaimana ketujuh kemampuan dasar (seven endowments) itu menciptakan tujuh kebiasaan tertentu (Seven habits) berdasarkan peringkatnya. Peringkat yang dimaksud adalah tingkat pencapaian kualitas pengembangan diri / aktualisasi kemampuan potensial:

1. Kesadaran Diri - Proaktif

Kesadaran-diri adalah kemampuan kunci untuk memahami orang lain dan dunia ini - ‘what is happening and how something takes the process to happen’. Bahkan kesadaran-diri merupakan pintu untuk mengenal di mana sebenarnya keunggulan/kelemahan diri kita. Dengan kesadaran-diri yang tinggi maka kaki kita mantap menginjak realitas bumi dan tidak ragu-ragu dalam bertindak.

Kemampuan tentang kesadaran-diri apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan efektif berupa proaktif: memiliki kemampuan untuk memilih respon yang cocok atau menentukan keputusan. Dikatakan kebiasaan efektif karena semua persoalan tidak ada yang membingungkan apabila ditangani oleh orang yang berkapasitas mampu mengambil keputusan. Kualitas menjadi pengambil keputusan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh orang dengan kesadaran-diri setengah-setengah.

Pada level aktualisasi kemampuan yang rendah, kebiasaan hidup yang dihasilkan tidak efektif ( talang bocor) yaitu kebiasaan reaktif – tidak memiliki kemampuan memilih alias dibentuk oleh bagaimana orang lain dan keadaan membentuknya. Di level ini semua persoalan besar/kecil akan membuat dirinya ‘bingung’ - terombang ambing, bahkan bisa jadi tidak tahu mana yang besar dan mana yang kecil.

2. Imajinasi – Tujuan akhir

Kemampuan imajinasi apabila diaktualkan secara optimal dengan petunjuk kesadaran dan prinsip akan menghasilkan kebiasaan hidup yang bermuara pada tujuan akhir/kepentingan misi. Orang yang telah melatih imajinasinya pada level tinggi senantiasa akan membuat lilin harapan dan visi menyala sehingga tidak mudah digoda oleh berbagai bentuk distraksi dari luar dan dari dalam atau tidak mudah kalut oleh kegelapan realitas temporer. Kondisi internal yang terus tercerahkan (enlightenment) oleh lilin harapan dan visi inilah yang membuat dirinya realistic (berada di atas realitas) atau victor (pemenang) dan effective.

Sebaliknya, pada level aktualisasi kemampuan yang rendah di mana orang membiarkan imajinasinya liar kemana-mana tanpa kesadaran atau prinsip yang jelas akan menghasilkan cetakan kebiasaan hidup yang tidak berbentuk, atau menjadi korban (victim), sudah kemana-mana tetapi tidak menemukan apa-apa (sense of futility about goal). Imajinasi yang liar bisa terjadi kapan pun dan di manapun yang lazimnya kita kenal dengan aktivitas ‘ngelamun’. Secara permukaan sulit dibedakan antara orang ngelamun dan orang yang melatih imajinasi dengan bervisualisasi kreatif tetapi dalam hitungan yang ke sekian kali perbedaan itu akan sebesar kemutahiran kreasi. Bukankah semua temuan tekhnologi berawal dari imajinasi ?

3. Kemauan - Mengutamakan yang Utama

Kemampuan manusia berupa kemauan apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup teratur - mengutamakan yang utama, dan penuh displin dalam membuat tata letak antara prioritas utama, kepentingan, dan urgensitas. Keteraturan dan displin tidak dapat diraih tanpa kemauan keras untuk merebut tanggung jawab. Orang yang tahu tata letak akan membuat kebiasaan hidup efektif.

Pada level aktualisasi yang rendah, kemampuan ini akan menghasilkan kebiasaan hidup berupa mentalitas jalan-pintas, atau the simple answer, menolak tanggung jawab hidup sehingga tidak terjadi keteraturan. Membesar-besarkan hal yang kecil dan mengabaikan hal yang menjadi benih-benih peristiwa besar (kebocoran atau kemampetan talang). Orang yang malas tidak berarti hidupnya efektif meskipun ia menolak bertanggung jawab karena pada dasarnya hidup ini tidak memberi pilihan antara bertanggung jawab atau tidak, melainkan harus bertanggung jawab.

4. Mentalitas Berlimpah - Berpikir Menang-menang

Kemampuan mentalitas atau kapasitas mental yang diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan berpikir menang-menang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Mentalitas berlimpah akan menghasilkan karakter kepribadian berprinsip. Prinsiplah yang menjadi sumber keberlimpahan, kemakmuran dan keamanan. Kalau dikaitkan dengan kecerdasan EQ, tingkat kecerdasan yang tinggi akan mampu memproduksi kebahagian di dalam sehingga berkuranglah tingkat dependensinya terhadap sumber kebahagian dari luar . Semakin kuat orang memegang ‘principle-centered’ (berpusat pada prinsip hidup), semakin mudah orang tersebut mengalirkan rasa cinta/penghargaan kepada orang lain - to share recognition. Oleh karena itu dikatakan, mentalitas berlimpah akan menghasilkan profit dan power.

Sebaliknya pada level aktualisasi yang rendah akan menghasilkan kebiasaan hidup talang bocor berupa mentalitas kerdil (scarcity) di mana orang merasa kurang dengan dirinya. Rasa bahagia, rasa aman, dan rasa makmur tidak mampu diciptakan oleh dirinya melainkan merasa harus bergantung kepada orang lain sehingga tidak mudah memberi maaf atas kesalahan apapun yang dilakukan oleh mereka. Suami/istri yang bermentalitas kerdil akan mudah bentrok walaupun pemicunya berupa sendok makan yang jatuh padahal (mestinya) cukup diselesaikan dengan memaafkan sedikit. Karena tidak mampu memaafkan akhirnya membuat kebocoran tidak hanya menetes melainkan mengalir deras, dan akhirnya banjirlah rumah tangga.

5. Keberanian - Memahami Lebih Dahulu

Kemampuan keberanian apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan efektif berupa memahami lebih dulu baru akan dipahami. Memahami lebih dulu membutuhkan keberanian dengan pertimbangan. Dikatakan efektif karena memahami lebih dulu akan (biasanya) membuat kita dipahami lebih dulu. Memahami lebih dulu adalah membuka talang yang macet atau kalau dipinjamkan dari istilah lain, memahami lebih dulu adalah kebiasaan empati, bukan simpati.

Sebaliknya keberanian yang tidak diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup tidak efektif berupa keinginan untuk dipahami lebih dulu baru akan memahami. Jika dikembalikan ke kehidupan kita, akar dari sebab persoalan besar adalah dasar berkomunikasi yang ingin dipahami lebih dulu. Semua orang memang secara alami ingin dipahami lebih dulu.

6. Kreativitas - Sinergisitas

Kemampuan kreativitas apabila diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup efektif berupa terciptanya keunggulan sinergis dari perbedaan atau persamaan. Keunggulan sinergis adalah manifestasi kesadaran misi dan tidak dapat diraih dengan pendewaan posisi. Salah satu karakteristik keunggulan sinergis adalah terciptanya saluran komunikasi di antara respectful minds yang berinteraksi untuk menemukan kompromi dan kerjasama. Kenyataan seringkali mengajarkan bahwa pada akhirnya, kerjsa sama yang diolah dengan kreativitas akan menang melebihi ‘confrontation’.

Sebaliknya kemampuan kreativitas yang tidak diaktualkan secara optimal akan menghasilkan kebiasaan hidup tidak efektif berupa kebuntuan alternatif dan kemacetan aliran transformasi. Satu-satunya jalan yang ditempuh adalah membuat ‘defensive communication’ dibarengi dengan pendewaan posisi antara saya dan anda, kami dan mereka. Posisi yang didewakan akan membuat aliran kepentingan misi bisa macet dan akhirnya terbuang ke tempat yang tidak diinginkan.

7. Pembaharuan - Mengasah Gergaji

Kebiasaan mengasah gergaji dihasilkan dari kemampuan pembaruan-diri yang diaktualkan secara optimal. Dikatakan kebiasaan efektif karena dengan terus mengasah gergaji (baca: pengembangan diri) dapat mengurangi kemungkinan yang menyebabkan kegagalan atau kelambanan menyelesaikan masalah akibat perubahan keadaan. Seperti dikatan, siksaan paling berat yang kita rasakan adalah ketidaktahuan (kebodohan). Pembaharuan adalah inovasi, improvisasi, pembelajaran, atau merenovasi talang.

Sebaliknya, kemampuan pembaruan yang tidak diaktualkan secara optimal akan membuat kita terperosok dalam sistem hidup yang tertutup, gaya hidup yang gelap, dan buntu. Tak pelak lagi sistem dan gaya hidup demikian hanya akan mewariksakn ketertinggalan dari kemajuan zaman, mentalitas kerdil dan kebodohan akan perkembangan informasi.

Uraian singkat di atas mudah-mudahan dapat mendorong kita untuk mengecek kondisi talang di atas "rumah diri kita" secara langsung agar dapat membuat kesimpulan yang paling mendekati obyektif; apakah talang yang tidak dapat mengalirkan air sebagaimana mestinya itu disebabkan oleh kerusakan fatal atau hanya kemampetan. Bila yang terjadi hanya mampet, pengalaman menunjukkan sangat amat jarang kemampetan talang diakibatkan oleh benda besar dalam peristiwa sesaat, misalnya pohon yang roboh atau lainnya. Sebab kalau benda besar yang menghalangi langsung kita singkirkan. Lebih sering talang yang mampet disebabkan oleh serpihan kayu, lumpur, lumut yang awalnya kita anggap tidak membahayakan. Dan begitu hujan turun, maka …. Bem!